9 Maret 2016
Jangan
kau lupakan bagaimana perjuanganmu untuk bisa berikrar, semalaman kamu tidak
tidur. Adzan subuh masih ditelinga kau berangkat menyetrika baju putihmu, tak
lupa dengan dasi hitammu berlogo kampus kebaggaanmu. Waktu orang-orang pada sibuk sarapan, engkau rela menahan lapar
dan berangkat ke masjid kampus untuk memakai togamu.
Namun,
ada hal yang tak terduga hingga membuatmu hampir putus asa dan tidak ikut
wisuda. Medali tanda fakultas dimana kamu selama ini berada hilang entah
kemana. Kebahagiaan yang sebelumnya terpancar dari wajahmu sirna seketika.
Engkau bingung, bisa jadi kamu ingin menangis. Lalu, tiba-tiba datang seorang
penyelamat tak lain dan tak bukan adalah Gus Mudjib dengan slogan khasnya
“Standart”. Dengan motor tua yang sedikit mbrebet
datang menjemputmu untuk mencari sang medali yang entah kemana.
Dengan
alunan nada putus asa kau copot lagi togamu yang telah terpampang rapi dan kau
tinggalkan seketika itu pula di pelataran masjid. Kau berlari-larian
meninggalkan kawan-kawanmu, meninggalkan dome kampus disaat yang lain datang
menghampirinya. Di balik itu semua di belakang keputus asa’anmu ada seorang
kawan yang sedang asyik berfoto dengan belahan jiwanya dengan background rak
buku.
Waktu
terus bergulir, seakan memaksa kalo acara akan segera dimulai. Namun, dirimu
tak jua kunjung hadir. Dengan perasaan was-was kawan-kawanmu masih menunggumu
ditempat yang sama. Hisapan demi hisapan, batang demi batang rokok MLD menjadi
saksi peluh akan kepastian kehadiranmu. Wisudawan wisudawati datang silih
berganti, namun bayang wajahmu tak jua terlihat. Bagai sebuah gerhana pagi
tadi, awalnya cerah tiba-tiba jadi gelap.
Kawanmu
kembali dari prosesi foto-foto dengan background rak buku (iya ... rak buku,
entah siapa yang memulai adat seperti ini, namun sepertinya berhasil
membudaya). Raut mukanya pun berubah, jadi resah gelisah menanti kabarmu.
Sampai-sampai penjual bakso yang ada didepanya berhasil ia campakkan, ia sama
sekali tak tergoda olehnya (karna, biasanya ia tak secuek itu dengan yang
namanya urusan makanan), mungkin dia
sudah kenyang akan keresahanya akan dirimu. Sebegitu kuatirnya dia kalo
sampai-sampai momen ini terlewatkan tanpa sosokmu.
Dan
begitulah akhirnya, kerikil-kerikil ... brongkalan-brongkalan...
itu semua bisa kita lewati bersama. Karna kita tahu kita tak semudah itu
untuk menyerah, karna kita tahu kita tak setahun dua tahun atau 4 tahun
ditempa. Lebiiihhhhhh ... 4 tahun yang diporsikan standart tak pernah cukup
untuk kita. Maka, kita memilih 7 tahun,
iya, 7 tahun ...
7 tahun ...
7 tahun kawan-kawanku ...
Sudah
berapa banyak kata “Hiyeeeee ...”
yang kita lontarkan selam 7 tahun itu ? ... andai kita simpan itu, tak akan
pernah cukup hardisk kita. Tentu, kita akan sampai menghapus semua file-file
3gp, dll. Siapa itu maria ozawa, siapa itu ameri ichinose, apa itu fake taxi,
apa itu mofos, tak akan lagi mendapatkan tempat dalam hardisk kita.
Sampailah
pada akhirnya kita bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Rasa, tak lupa Sang
Surya ikut kita nyanyikan setelahnya. Ada yang dengan khidmat menyanyikanya,
namun ada pula yang dengan
cengengas-cengenges. Entah apa yang lucu ... mungkin dia tengah
menertawakan negerinya sendiri, yang kini tak lagi sehebat lagu nationalnya.
Mungkin ....
7
tahun terlunasi seiring berakhirnya prosesi wisuda. Dan aku tak bisa bercerita
lagi, entah apa yang tengah terjadi
disana.
Sehari
... dua hari berlalu ...
Kita
merencanakan sebuah acara perpisahan. Oooh ... mungkin tidak kita, namun
sebagian dari kita ...
Banyak
tujuan yang kita diskusikan. Oooh ... mungkin tidak kita, namun sebagian dari
kita ...
Namun,
tak terlaksana seperti yang kita harapkan. Oooh ... mungkin tidak kita, namun
sebagian dari kita ...
Ya
... karna masih ada hal-hal laen yang bersinggungan yang jauh lebih mendapatkan
porsi utama, bukan lagi standart. Ya ... kita bisa memaklumi itu semua. Oooh
... mungkin tidak kita, namun sebagian dari kita ... (“Tetapi, kalau ku bilang lain kali ... pasti memiliki satu tujuan atau
satu muara yang disebut laut. Tetapi ini tidak, disinilah dimana hidup harus
kita hargai” tanggapan seorang kawan). Pada akhirnya, dari kita semua hanya
menyisakan 4 sosok yang berangkat.
Senja
datang dan yang tersisa berangkat, meski ada CUK yang terlintas. Dan ada yang menyesal karna harusnya itu tak
sampai terlempar. Tapi, dia terlalu egois untuk berucap ma’af saat itu pula.
Ego lebih mengalahkanya dan menjadikanya tak pernah dewasa, namun lebih kepada
anak kecil yang berlagak dewasa. Betapa pengecutnya dia ...
Barongan
yang tinggal sebatang pun ikut menertawakanya ...
“Hahahahahaha
....” biawak yang dulu pengen dia lihat terjungkal dari atas tebing datang ikut
menertawakanya.
“Hahahahahaha
...” dan semakin lantang tawanya, karna sang biawak tahu siapa sebenernya yang
tengah terjungkal selama ini dan tak pernah mau menyadarinya.
“HAHAHAHAHAHA
...” tawa itu semakin lantang saja.
*****
“Sudah
sampai mana kita ? ...”
“ma’af
pak numpang tanya, Pantai Telok itu dimana ? ...”
“Haaahhh
... Pantai Telok ? ...” yang bertanya tak lebih kagetnya dari yang ditanya.
“Oooh
... tidak ada mas yang namanya Pantai Telok disini ...” imbuh yang ditanya.
“Kalo
mau camping disini saja, di Batu Bengkung. Sering kok di pakai camping ...”
saran ibuk-ibuk yang bisa jadi adalah istri dari yang ditanya.
Obrolan
mereka dipinggir jalan pun berlanjut, meski tak menyisakan jawaban. Dan malam
pun semakin beranjak merangsek menuju pagi dengan beriringan rintik-rintik air
hujan dan petir yang menyambar-nyambar.
Sampailah
pada opsi terakhir, meski dengan berbekal koneksi yang seadanya. Seorang kawan
mencoba mencari jawaban, mencari arah, mencari tempat tujuan. Dan subhanallah
... semua terjadi atas kehendakNya . Ngawur namun tepat, disitulah kadang
keajaiban muncul. Meski tak nampak jalan tapi bisa dianggap jalan, itulah salah
satu kehebatan kalian kawan. Betapa beruntungnya dan bersyukurnya bisa ada
diantara kalian.
Hujan
tak jua reda, petir tak jua mau merasa malu untuk bersaksi. Dengan semangat
yang tersisa tenda berhasil didirikan. Satu persatu duduk melingkari bekal
makanan, ada nasi padang dan lalapan. Sungguh nikmatnya hidangan pembuka.
Kompor pun mulai dinyalakan, secangkir teh diseduh. Namun, bukan itu yang jadi
tujuan utama. Bukan secangkir teh hangat, bukan ...
Sebotol
akua bertopi orange berisi air, entah air kedamaian, entah air kehidupan
dikeluarkan. Air itu pun mulai disingkronkan dengan sebotol big cola rasa-rasa.
Secepuk, dua cepuk berkitar melingkar seiring dengan obrolan yang semakin
glambyar namun tetap berbobot. Hampir semua hal diobrolkan, entah nasib bangsa
ini, Tuhan, agama, kehidupan, bu guru ... dll. Semua menjadi pengisi acara
perputaran cepuk tersebut.
3
tetap berdiri, 1 tengah tumbang. Tumbang bersama mimpi-mimpinya dan
kenyataan-kenyataanya. Tak berbaju hanya bercelana pendek ia mengarungi
mimpi-mimpinya. Tak terdengar lagi kata “Mbuh
...”, “Gak ruh ...”, “Standart” dll. yang menjadi ciri
khasnya. Mungkin dia tengah berdiskusi dengan malaikat malam, namun dengan
jawaban yang sama “Standart”. Mungkin
....
Malam
semakin pagi, api unggun mulai berkobar.
Ada yang bermain api, namun tak terbakar. Di tumpahkanya semua yang menjadi
keluh kesanya, berusaha menjadi bebas di bawah atap hitam langit malam itu.
Ooohhh ... bukan langit malam, namun langit pagi ...
Apa
itu KRS, apa itu calon mertua yang pengen cepet-cepet gendong cucu, apa itu bu
guru ...
Haaahhhhh
... persetan dengan itu semua ... biar terbakar oleh api unggun, biar terseret
ombak lautan, biar tertelan air kedamaian.
Aku kembali tlah sekian lama ...
Mencari arti jalani mimpi ...
Kukembali tempat dimana ku bisa bersembunyi ...
Hanya di sini kulepaskan resah hati ...
Dari cerita kisah yang lalu ...
Dan kuberharap terangi jiwa ...
Reff:
Dari semua yang pernah aku jalani ...
Di sini yang berikan damai di hati ...
Dengan iringan musik reggea “Steven And The Coconut Treez - Kembali”, menari-nari diatas pasir pantai tanpa baju
tanpa celana, seolah mengisyaratkan tak ada satu hal pun didunia yang akan
sampai memperbudakku. Mungkin ....
to be continued ...

0 komentar:
Posting Komentar